Free Monkey ani Cursors at www.totallyfreecursors.com

Rabu, 20 Maret 2013

Penyakit Hansen atau Penyakit Kusta

Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya, diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,[1] hingga ditemukan bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh Universitas Texas pada tahun 2008,[2] yang menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy.[3] Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai patogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra. Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya untuk menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata leprosy dan leper mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya diderita oleh pasien kusta.[4]
Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.[5] Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath.



SEJARAH
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India.[6] Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. [7] Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India dan Vietnam.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.

Ciri-ciri


Lesi kulit pada paha.
Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit, saraf, dan membran mukosa.[8] Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi menjadi 'kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy).
Kusta multibasiler, dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang sering ditemukan. Terdapat lesi kulit yang menyerupai kusta tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan; bagian yang besar dapat mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi dengan kelemahan dan kehilangan rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta tuberkuloid.
Kusta tuberkuloid ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula kulit dan bagian yang tidak berasa (anestetik).
Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit simetris, dermis kulit yang menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang menyebabkan penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah) namun pendeteksian terhadap kerusakan saraf sering kali terlambat.
Tidak sejalan dengan mitos atau kepercayaan yang ada, penyakit ini tidak menyebabkan pembusukan bagian tubuh. Menurut penelitian yang lama oleh Paul Brand, disebutkan bahwa ketidakberdayaan merasakan rangsang pada anggota gerak sering menyebabkan luka atau lesi. Kini, kusta juga dapat menyebabkan masalah pada penderita AIDS.[9]

Penyebab


Mycobacterium leprae.

Paket terapi multiobat.
Mycobacterium leprae adalah penyebab dari kusta.[5] Sebuah bakteri yang tahan asam M. leprae juga merupakan bakteri aerobik, gram positif, berbentuk batang, dan dikelilimgi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium.[10] M. leprae belum dapat dikultur pada laboratorium.[11]

Patofisiologi

Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. [12] Selain manusia, hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.[13] Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu. [14] Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab.
Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat.[15] Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina[16] hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.[17]
Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adnaya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. [18] Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat. [19]
Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898.[20] Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri.[21] Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka.[22] Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.[23]
Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem imunnya. [24] Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan. [25] Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.[26] Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

Pengobatan

Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. {ada 1960an, dapson tidak digunakan lagi.
Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an. [27]

Obat terapi multiobat kusta.
Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri.[28] Terapi multiobat dan kombinasi tiga obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri.
Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke negara yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan sebuah resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi penghapusan kusta.
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar.[29] Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.
Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapoi kusta secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010.
Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan pertama.[6] Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan obat.[6]

Epidemiologi


Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003.
Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta.[7] India adalah negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar.
Pada 1999, insidensi penyakit kusta du dunia diperkirakan 640.000, pada 2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal.

Kelompok berisiko

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.

Situasi global

Tabel 1: Prevalensi pada awal 2006, dan tren penemuan kasus baru pada 2001-2005, tidak termasuk di Eropa
Daerah Prevalensi terdaftar (rate/10,000 pop.) Kasus baru yang ditemukan pada tahun
Awal 2006 2001 2002 2003 2004 2005
Afrika 40.830 (0.56) 39.612 48.248 47.006 46.918 42.814
Amerika 32.904 (0.39) 42.830 39.939 52.435 52.662 41.780
Asia Tenggara 133.422 (0.81) 668.658 520.632 405.147 298.603 201.635
Mediterania Timur 4.024 (0.09) 4.758 4.665 3.940 3.392 3.133
Pasifik Barat 8.646 (0.05) 7.404 7.154 6.190 6.216 7.137
Total 219.826 763.262 620.638 514.718 407.791 296.499
Tabel 2: Prevalensi dan Penemuan
Negara Prevalensi terdaftar (rate/10,000 pop.) Penemuan kasus baru (rate/100,000 pop.)
Awal 2004 Awal 2005 Awal 2006 Selama 2003 Selama 2004 Selama 2005
 Brasil 79.908 (4.6) 30.693 (1.7) 27.313 (1.5) 49.206 (28.6) 49.384 (26.9) 38.410 (20.6)
 Republik Demokratik Kongo 6.891 (1.3) 10.530 (1.9) 9.785 (1.7) 7.165 (13.5) 11.781 (21.1) 10.737 (18.7)
 Madagaskar 5.514 (3.4) 4.610 (2.5) 2.094 (1.1) 5.104 (31.1) 3.710 (20.5) 2.709 (14.6)
 Mozambik 6.810 (3.4) 4.692 (2.4) 4.889 (2.5) 5.907 (29.4) 4.266 (22.0) 5.371 (27.1)
 Nepal 7.549 (3.1) 4.699 (1.8) 4.921 (1.8) 8.046 (32.9) 6.958 (26.2) 6.150 (22.7)
 Tanzania 5.420 (1.6) 4.777 (1.3) 4.190 (1.1) 5.279 (15.4) 5.190 (13.8) 4.237 (11.1)
Total 112.092 60.001 53.192 80.707 81.289 67.614

Kamis, 14 Februari 2013

Karies

Karies adalah suatu penghancuran atau destruksi progresif pada struktur tulang, termasuk tengkorak, tulang iga, gigi, dan tulang lainnya. Karies dapat disebabkan oleh osteomielitis, yang merupakan penyakit bakteri. Sebuah penyakit yang dapat berkembang menjadi karies adalah matoiditis, sebuah radang pada processus mastoideus.
Karies yang sering terjadi adalah karies gigi. Karies gigi dapat memengaruhi berbagai bagian dari gigi, termasuk enamel, dentin, pda mahkota atau akar gigi.

Faringitis streptokokus

Faringitis streptokokus
Klasifikasi dan bahan-bahan eksternal
A set of large tonsils in the back of the throat covered in white exudate
A culture positive case of streptococcal pharyngitis with typical pus on the tonsils in a 16 year old.
ICD-10 J02.0
ICD-9 034.0
DiseasesDB 12507
MedlinePlus 000639
eMedicine med/1811 

Faringitis streptokokus atau sakit tenggorokan akibat Streptokokus adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang disebut “Streptokokus grup A”.[1] Sakit tenggorokan akibat Streptokokus mempengaruhi tenggorokan dan tonsil. Tonsil adalah kedua kelenjar di tenggorokan, pada bagian belakang mulut. Sakit tenggorokan akibat Streptokokus juga dapat mempengaruhi rongga suara (laring). Gejala yang sering ditemukan antara lain demam, nyeri tenggorokan (disebut juga sakit tenggorokan), dan kelenjar (disebut kelenjar getah bening) yang membengkak di leher. Sakit tenggorokan akibat streptokokus merupakan penyebab pada 37% nyeri tenggorokan di anak.[2]
Sakit tenggorokan akibat Streptokokus menyebar melalui kontak erat dengan orang yang sakit. Agar yakin bahwa seseorang terjangkit sakit tenggorokan akibat Streptokokus, diperlukan suatu pemeriksaan yang disebut kultur apus tenggorokan. Meskipun tanpa pemeriksaan ini, suatu kasus sakit tenggorokan akibat Streptokokus yang khas dapat diketahui berdasarkan gejalanya. Antibiotik dapat membantu orang yang terkena sakit tenggorokan akibat Streptokokus. Antibiotik adalah obat yang membunuh bakteri. Antibiotik terutama digunakan untuk mencegah komplikasi seperti demam rematik dan bukan untuk memperpendek lamanya sakit.[3]

Gejala dan tanda

Gejala sakit tenggorokan akibat Streptokokus yang umum ditemukan adalah nyeri pada tenggorokan, demam lebih dari 38°C (100,4°F), nanah (suatu cairan berwarna kuning atau hijau yang tersusun atas bakteri yang mati, dan sel darah putih) pada tonsil, dan kelenjar getah bening yang membengkak.[3]
Dapat pula ditemukan gejala lain seperti:
  • Nyeri kepala (sakit kepala)[4]
  • Muntah-muntah atau ingin muntah (mual)[4]
  • Nyeri perut [4]
  • Nyeri otot[5]
  • Ruam (bintik kecil-kecil kemerahan) pada tubuh atau dalam mulut atau tenggorokan. Ini adalah tanda yang tidak sering ditemukan namun spesifik.[3]
Seorang yang terkena sakit tenggorokan akibat Streptokokus akan menunjukkan gejala antara satu hingga tiga hari setelah berkontak dengan seorang yang sakit.[3]

Penyebab

Sakit tenggorokan akibat Streptokokus disebabkan oleh suatu tipe bakteri yang disebut Streptokokus beta-hemolitikus grup A (SGA).[6]Bakteri atau virus lain juga dapat menyebabkan nyeri tenggorokan.[3][5] Seseorang menderita sakit tenggorokan akibat Streptokokus melalui kontak langsung dan erat dengan seorang yang sakit. Penyakit ini dapat lebih mudah menyebar apabila berada dalam lingkungan yang padat.[5][7] Contoh lingkungan yang padat di antaranya orang-orang di lingkungan militer atau di sekolah. Bakteri SGA dapat mengering menjadi debu, namun tidak dapat menyebabkan orang menjadi sakit. Apabila bakteri di lingkungan dipertahankan tetap lembab maka sampai dengan 15 hari bakteri tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit.[5] Bakteri yang lembab dapat ditemukan pada benda-benda seperti sikat gigi. Bakteri ini dapat hidup dalam makanan, namun hal ini sangat jarang terjadi. Orang yang memakan makanan tersebut dapat menjadi sakit.[5] Dua belas persen anak tanpa gejala sakit tenggorokan akibat Streptokokus memiliki SGA di tenggorokan mereka dalam keadaan normal.[2]

Diagnosis

Modifikasi Skor Centor
Nilai Kemungkinan Strep Pengobatan
1 atau kurang <10% Tidak diperlukan antibiotik atau kultur
2 11–17% Antibiotik berdasarkan kultur atau RADT
3 28–35%
4 atau 5 52% Antibiotik tanpa melakukan kultur
Suatu daftar cek yang disebut Modifikasi Skor Centor membantu dokter memutuskan bagaimana menangani seseorang dengan nyeri tenggorokan. Skor Centor memiliki lima penilaian atau pengamatan klinis. Ini menunjukkan seberapa mungkin seseorang mengalami sakit tenggorokan akibat Streptokokus.[3]
Satu poin diberikan untuk setiap kriteria ini:[3]
  • Tidak ada batuk
  • Kelenjar getah bening membengkak atau kelenjar getah bening yang nyeri bila disentuh
  • Suhu tubuh lebih dari 38°C (100,4°F)
  • Pus (nanah) atau pembengkakan tonsil (amandel)
  • Usia kurang dari 15 tahun (dikurangi satu poin apabila orang tersebut berusia lebih dari 44 tahun)

Pemeriksaan laboratorium

Suatu pemeriksaan yang disebut kultur tenggorokan adalah cara terbaik[8] untuk mengetahui apakah seseorang mengalami sakit tenggorokan akibat Streptokokus. Pemeriksaan ini memiliki ketepatan 90 sampai 95 persen.[3] Terdapat pemeriksaan lain yang disebut uji strep cepat (rapid strep test), disebut juga RADT. Uji strep cepat lebih cepat dibandingkan dengan kultur tenggorokan namun hanya mampu menemukan penyakit dengan benar pada 70% pemeriksaan. Kedua pemeriksaan dapat menunjukkan kapan seseorang tidak mengalami sakit tenggorokan akibat Streptokokus. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dapat menunjukkan bahwa seseorang tidak mengalami penyakit tersebut pada 98 persen kesempatan.[3]
Saat seseorang sedang sakit, kultur tenggorokan atau uji strep cepat dapat memberitahukan apakah seseorang sedang sakit tenggorokan akibat Streptokokus.[9] Orang yang tidak mengalami gejala sebaiknya tidak diperiksa kultur tenggorokan atau uji strep cepat karena beberapa orang memiliki bakteri streptokokus di tenggorokan mereka pada keadaan normal tanpa ada gejala yang buruk. Dan orang-orang ini tidak memerlukan pengobatan.[9]

Penyebab gejala serupa

Sakit tenggorokan akibat Streptokokus memiliki beberapa gejala yang sama seperti penyakit lain. Karena hal ini, dapat sulit untuk mengetahui apakah seseorang mengalami sakit tenggorokan akibat Streptokokus tanpa kultur tenggorokan atau uji strep cepat.[3] Apabila orang tersebut mengalami demam dan nyeri tenggorokan disertai batuk, hidung berair, diare, dan mata terasa merah dan gatal, hal ini lebih mungkin suatu nyeri tenggorokan yang disebabkan oleh virus.[3] Mononukleosis infeksiosa dapat menyebabkan kelenjar getah bening di leher membengkak dan nyeri tenggorokan, demam, dan dapat menyebabkan amandel membesar.[10] Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan pemeriksaan darah. Namun, tidak ada pengobatan yang spesifik untuk mononukleosis infeksiosa.

Pencegahan

Beberapa orang mengalami sakit tenggorokan akibat Streptokokus lebih sering dibandingkan orang lainnya. Operasi pengangkatan tonsil adalah salah satu cara untuk membuat orang-orang tersebut berhenti mengalami sakit tenggorokan akibat Streptokokus.[11][12] Menderita sakit tenggorokan akibat Streptokokus tiga kali atau lebih dalam setahun mungkin merupakan alasan yang baik untuk mengangkat amandel.[13] Menunggu dahulu juga tidak apa-apa.[11]

Pengobatan

Sakit tenggorokan akibat Streptokokus biasanya berlangsung selama beberapa hari tanpa pengobatan.[3] Pengobatan dengan antibiotik biasanya akan membuat gejalanya hilang 16 jam lebih cepat.[3] Alasan utama pengobatan dengan antibiotik adalah untuk mengurangi risiko menderita penyakit yang lebih berat. Sebagai contoh, suatu penyakit jantung yang dikenal sebagai demam reumatik atau berkumpulnya nanah di tenggorokan yang dikenal sebagai abses retrofaring.[3] Antibiotik bekerja dengan baik apabila diberikan dalam waktu 9 hari sejak gejala pertama kali muncul.[6]

Obat nyeri

Obat penghilang rasa nyeri dapat membantu mengurangi nyeri yang disebabkan oleh sakit tenggorokan akibat Streptokokus.[14] Biasanya ini mencakupOAINS atau parasetamol yang juga dikenal sebagai asetaminofen. Steroid juga bermanfaat[6][15], demikian pulalidokain kental.[16] Aspirin dapat bermanfaat pada dewasa. Tidak baik memberikan aspirin pada anak karena hal ini akan membuat mereka lebih mungkin mengalami Sindrom Reye.[6]

Obat antibiotik

Penisilin V adalah antibiotik yang paling sering digunakan di Amerika Serikat untuk sakit tenggorokan akibat Streptokokus. Antibiotik ini banyak digunakan karena aman, bekerja dengan baik, dan tidak mahal (tidak menghabiskan banyak uang).[3] Amoksisilin biasanya digunakan di Eropa.[17] Di India, orang lebih berisiko menderita demam reumatik. Karena itu, suatu obat disuntikkan yang disebut benzatin penisilin G merupakan terapi yang biasa diberikan.[6] Antibiotik menurunkan rata-rata lama gejala. Rata-rata lama gejala adalah tiga hingga lima hari. Antibiotik menurunkan hal ini sebanyak sekitar satu hari. Obat-obat ini juga mengurangi penyebaran penyakit.[9] Obat-obat ini terutama digunakan untuk mencoba mengurangi komplikasi yang jarang. Ini mencakup demam reumatik, ruam, atau infeksi.[18] Efek baik antibiotik harus seimbang dengan kemungkinan efek sampingnya.[5] Terapi antibiotik mungkin tidak perlu diberikan pada seorang dewasa sehat yang mengalami reaksi buruk terhadap obat.[18] Penggunaan antibiotik pada sakit tenggorokan akibat Streptokokus lebih sering dibandingkan dengan perkiraan tingkat kejadian penyakit yang diharapkan.[19] Obat eritromisin (dan obat-obat lain, yang disebut makrolid) harus digunakan pada orang yang mengalami alergi berat terhadap penisilin.[3]Sefalosporin dapat digunakan pada orang dengan alergi yang lebih ringan.[3] Infeksi streptokokus juga dapat menyebabkan pembengkakan ginjal (glomerulonefritis akut). Antibiotik tidak mengurangi kemungkinan terjadinya kondisi ini.[6]

Perjalanan Penyakit Selanjutnya

Gejala sakit tenggorokan akibat Streptokokus biasanya membaik, dengan atau tanpa pengobatan, dalam waktu sekitar tiga hingga lima hari.[9]Pengobatan dengan antibiotik mengurangi risiko penyakit yang lebih berat. Antibiotik juga membuat penyakit lebih sulit menyebar ke orang lain. Anak dapat kembali sekolah 24 jam setelah pemberian antibiotik.[3]
Masalah yang sangat berat ini mungkin disebabkan oleh sakit tenggorokan akibat Streptokokus:

Kemungkinan Terkena Penyakit Ini

Sakit tenggorokan akibat Streptokokus termasuk dalam kategori yang lebih luas dari nyeri tenggorokan atau faringitis. Sekitar 11 juta orang menderita nyeri tenggorokan di Amerika Serikat setiap tahunnya.[3] Sebagian besar kasus nyeri tenggorokan disebabkan oleh virus. Bakteri Streptokokus beta hemolitikus grup A menyebabkan 15 hingga 30 persen nyeri tenggorokan pada anak. Bakteri ini menyebabkan 5 hingga 20 persen nyeri tenggorokan pada dewasa.[3] Kasus biasanya terjadi pada akhir musim dingin dan awal musim semi.[3]

Rabu, 13 Februari 2013

Disentri

Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (=gangguan) dan enteron (=usus), yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas, tinja lendir bercampur darah [1]. Gejala-gejala disentri antara lain adalah:
  • Buang air besar dengan tinja berdarah
  • Diare encer dengan volume sedikit
  • Buang air besar dengan tinja bercampur lender(mucus)
  • Nyeri saat buang air besar (tenesmus)

Daftar isi

Etimologi

  1. Bakteri (Disentri basiler)
    • Shigella, penyebab disentri yang terpenting dan tersering (± 60% kasus disentri yang dirujuk serta hampir semua kasus disentri yang berat dan mengancam jiwa disebabkan oleh Shigella [2].
    • Escherichia coli enteroinvasif (EIEC)
    • Salmonella
    • Campylobacter jejuni, terutama pada bayi
  2. Amoeba (Disentri amoeba), disebabkan Entamoeba hystolitica, lebih sering pada anak usia > 5 tahun

Patofisiologi

Referensi:[3][4][5][6]
Transmisi : fecal-oral, melalui : makanan / air yang terkontaminasi, person-to-person contact.

Disentri basiler

Shigella dan EIEC

MO --> kolonisasi di ileum terminalis/kolon, terutama kolon distal  invasi ke sel epitel mukosa usus --> multiplikasi --> penyebaran intrasel dan intersel --> produksi enterotoksin --> ↑ cAMP --> hipersekresi usus (diare cair, diare sekresi).--> produksi eksotoksin (Shiga toxin) --> sitotoksik --> infiltrasi sel radang --> nekrosis sel epitel mukosa --> ulkus-ulkus kecil --> eritrosit dan plasma keluar ke lumen usus --> tinja bercampur darah.--> invasi ke lamina propia ? --> bakteremia (terutama pada infeksi S.dysenteriae serotype 1)

Salmonella

MO --> kolonisasi di jejunum/ileum/kolon --> invasi ke sel epitel mukosa usus --> invasi ke lamina propia --> infiltrasi sel-sel radang --> sintesis Prostaglandin --> produksi heat-labile cholera-like enterotoksin --> invasi ke Plak Peyeri --> penyebaran ke KGB mesenterium -->hipertrofi --> penurunan aliran darah ke mukosa --> nekrosis mukosa --> ulkus menggaung --> eritrosit dan plasma keluar ke lumen --> tinja bercampur darah.

Campylobacter jejuni

MO --> kolonisasi di jejunum/ileum/kolon --> invasi ke sel epitel mukosa usus --> invasi ke lamina propia --> infiltrasi sel-sel radang --> Prostaglandin --> produksi heat-stabile cholera-like enterotoksin --> produksi sitotoksin ?? --> nekrosis mukosa --> ulkus --> eritrosit dan plasma keluar ke lumen --> tinja bercampur darah.--> masuk ke sirkulasi (bakteremia).

Disentri amoeba

Bentuk histolitika (trofozoit) --> invasi ke sel epitel mukosa usus --> produksi enzim histolisin  nekrosis jaringan mukosa usus --> invasi ke jaringan submukosa --> ulkus amoeba --> ulkus melebar dan saling berhubungan membentuk sinus-sinus submukosa --> kerusakan permukaan absorpsi  malabsorpsi --> ↑ massa intraluminal --> tekanan osmotik intraluminal --> diare osmotik.

Komplikasi

Referensi:[2][3][4][7]
  1. Dehidrasi
  2. Gangguan elektrolit, terutama hiponatremia
  3. Kejang
  4. Protein loosing enteropathy
  5. Sepsis dan DIC
  6. Sindroma Hemolitik Uremik
  7. Malnutrisi/malabsorpsi
  8. Hipoglikemia
  9. Prolapsus rektum
  10. Reactive arthritis
  11. Sindroma Guillain-Barre
  12. Ameboma
  13. Megakolon toksik
  14. Perforasi lokal
  15. Peritonitis

Diagnosis

Referensi:[2][3][4][7][6]
Diagnosis klinis dapat ditegakkan semata-mata dengan menemukan tinja bercampur darah. Diagnosis etiologi biasanya sukar ditegakkan. Penegakan diagnosis etiologi melalui gambaran klinis semata sukar, sedangkan pemeriksaan biakan tinja untuk mengetahui agen penyebab seringkali tidak perlu dilakukan karena memakan waktu lama (minimal 2 hari) dan umumnya gejala membaik dengan terapi antibiotika empiris.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan :
  • Pemeriksaan tinja
    • Makroskopis : suatu disentri amoeba dapat ditegakkan bila ditemukan bentuk trofozoit dalam tinja
    • Benzidin test
    • Mikroskopis : leukosit fecal (petanda adanya kolitis), darah fecal .
  • Biakan tinja :
    • Media : agar MacConkey, xylose-lysine deoxycholate (XLD), agar SS.
  • Pemeriksaan darah rutin : leukositosis (5.000 – 15.000 sel/mm3), kadang-kadang dapat ditemukan leukopenia.

Simtoma klinis

Disentri basiler

  • Diare mendadak yang disertai darah dan lendir dalam tinja. Pada disentri shigellosis, pada permulaan sakit, bisa terdapat diare encer tanpa darah dalam 6-24 jam pertama, dan setelah 12-72 jam sesudah permulaan sakit, didapatkan darah dan lendir dalam tinja.
  • Panas tinggi (39,5 - 40,0 C), kelihatan toksik.
  • Muntah-muntah.
  • Anoreksia.
  • Sakit kram di perut dan sakit di anus saat BAB.
  • Kadang-kadang disertai dengan gejala menyerupai ensefalitis dan sepsis (kejang, sakit kepala, letargi, kaku kuduk, halusinasi).

Disentri amoeba

  • Diare disertai darah dan lendir dalam tinja.
  • Frekuensi BAB umumnya lebih sedikit daripada disentri basiler (≤10x/hari)
  • Sakit perut hebat (kolik)
  • Gejala konstitusional biasanya tidak ada (panas hanya ditemukan pada 1/3 kasus).

Penanganan

Referensi:[2][3][4][7][8][9][10][6]
1. Perhatikan keadaan umum anak, bila anak appear toxic, status gizi kurang, lakukan pemeriksaan darah (bila memungkinkan disertai dengan biakan darah) untuk mendeteksi adanya bakteremia. Bila dicurigai adanya sepsis, berikan terapi sesuai penatalaksanaan sepsis pada anak. Waspadai adanya syok sepsis. 2. Komponen terapi disentri : a. Koreksi dan maintenance cairan dan elektrolit. b. Diet c. Antibiotika d. Sanitasi
Ad. a. Koreksi dan maintenance cairan dan elektrolit
Seperti pada kasus diare akut secara umum, hal pertama yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan disentri setelah keadaan stabil adalah penilaian dan koreksi terhadap status hidrasi dan keseimbangan elektrolit.
Ad. b. Diet
Anak dengan disentri harus diteruskan pemberian makanannya. Berikan diet lunak tinggi kalori dan protein untuk mencegah malnutrisi. Dosis tunggal tinggi vitamin A (200.000 IU) dapat diberikan untuk menurunkan tingkat keparahan disentri, terutama pada anak yang diduga mengalami defisiensi. Untuk mempersingkat perjalanan penyakit, dapat diberikan sinbiotik dan preparat seng oral8,9. Dalam pemberian obat-obatan, harus diperhatikan bahwa obat-obat yang memperlambat motilitas usus sebaiknya tidak diberikan karena adanya risiko untuk memperpanjang masa sakit.
Ad. c. Antibiotika
• Anak dengan disentri harus dicurigai menderita shigellosis dan mendapatkan terapi yang sesuai. Pengobatan dengan antibiotika yang tepat akan mengurangi masa sakit dan menurunkan risiko komplikasi dan kematian. • Pilihan utama untuk Shigelosis (menurut anjuran WHO) : Kotrimoksazol (trimetoprim 10mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50mg/kgBB/hari) dibagi dalam 2 dosis, selama 5 hari. • Dari hasil penelitian, tidak didapatkan perbedaan manfaat pemberian kotrimoksazol dibandingkan plasebo10. • Alternatif yang dapat diberikan : o Ampisilin 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis o Cefixime 8mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis o Ceftriaxone 50mg/kgBB/hari, dosis tunggal IV atau IM o Asam nalidiksat 55mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis. • Perbaikan seharusnya tampak dalam 2 hari, misalnya panas turun, sakit dan darah dalam tinja berkurang, frekuensi BAB berkurang, dll. Bila dalam 2 hari tidak terjadi perbaikan, antibiotik harus dihentikan dan diganti dengan alternatif lain. • Terapi antiamebik diberikan dengan indikasi : o Ditemukan trofozoit Entamoeba hystolistica dalam pemeriksaan mikroskopis tinja. o Tinja berdarah menetap setelah terapi dengan 2 antibiotika berturut-turut (masing-masing diberikan untuk 2 hari), yang biasanya efektif untuk disentri basiler. • Terapi yang dipilih sebagai antiamebik intestinal pada anak adalah Metronidazol 30-50mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Bila disentri memang disebabkan oleh E. hystolistica, keadaan akan membaik dalam 2-3 hari terapi.
Ad. d. Sanitasi
 Beritahukan kepada orang tua anak untuk selalu mencuci tangan dengan bersih sehabis membersihkan tinja anak untuk mencegah autoinfeksi.

Difteri

Difteri adalah penyakit akibat terjangkit bakteri yang bersumber dari Corynebacterium diphtheriae. Difteri ialah penyakit yang mengerikan di mana masa lalu telah menyebabkan ribuan kematian, dan masih mewabah di daerah-daerah dunia yang belum berkembang. Orang yang selamat dari penyakit ini menderita kelumpuhan otot-otot tertentu dan kerusakan permanen pada jantung dan ginjal. Anak-anak yang berumur satu sampai sepuluh tahun sangat peka terhadap penyakit ini.
Penularan Kuman difteri disebarkan oleh menghirup cairan dari mulut atau hidung orang yang terinfeksi, dari jari-jari atau handuk yang terkontaminasi, dan dari susu yang terkontaminasi penderita.

Simptom

Gejala yang muncul ialah sakit tenggorokan, demam, sulit bernapas dan menelan, mengeluarkan lendir dari mulut dan hidung, dan sangat lemah. Kelenjar getah bening di leher membesar dan terasa sakit. Lapisan(membran) tebal terbentuk menutupi belakang kerongkongan atau jika dibuangkan menutup saluran pernapasan dan menyebabkan kekurangan oksigen dalam darah.

Perawatan dan pencegahan

Perawatan bagi penyakit ini termasuk antitoksin difteri, yang melemahkan toksin dan antibiotik. Eritromisin dan penisilin membantu menghilangkan kuman dan menghentikan pengeluaran toksin. Membuat lubang pada pipa saluran pernapasan atas(tracheotomy) mungkin perlu untuk menyelamatkan nyawa. Umumnya difteri dapat dicegah melalui vaksinasi. Bayi, kanak-kanak, remaja, dan orang dewasa yang tidak mempunyai cukup pelalian memerlukan suntikan booster setiap 10 tahun.

Demam tifoid

Demam tifoid
Klasifikasi dan bahan-bahan eksternal
Bintik-bintik merah pada dada pasien yang terjangkit demam tifoid karena Bakteri Salmonella Typhi
ICD-10 A01.0
ICD-9 002
DiseasesDB 27829
eMedicine oph/686  med/2331
MeSH D014435

Demam tifoid[1], atau typhoid[2] adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi.[3] Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia, dan disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh tinja.[4]

Gejala

Setelah infeksi terjadi akan muncul satu atau beberapa gejala berikut ini:

Perawatan

Tifus dapat berakibat fatal. Antibiotika, seperti ampicillin, kloramfenikol, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan ciproloxacin sering digunakan untuk merawat demam tipoid di negara-negara barat.
Bila tak terawat, demam tifoid dapat berlangsung selama tiga minggu sampai sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30% dari kasus yang tidak terawat. Vaksin untuk demam tifoid tersedia dan dianjurkan untuk orang yang melakukan perjalanan ke wilayah penyakit ini biasanya berjangkit (terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin).

Tes Mantoux

Tes Mantoux (juga disebut tes penyaringan Mantoux, Tes Sensitivitas Tuberkulin, tes Pirquet, atau tes PPD atau Derivatif Protein Dimurnikan) adalah alat diagnostik untuk penyakit tuberkulosis. Tes ini adalah satu dari dua tes kulit tuberkulin besar yang digunakan di seluruh dunia dan menggantikan tes punktur ganda seperti tes Tine. Hingga tahun 2005, tes Heaf digunakan di Britania Raya, selanjutnya sampai saat ini tes Mantoux digunakan di negara itu. Tes Mantoux juga digunakan di Australia, Brazil, Kanada, Hongaria, Polandia, Rusia, India, Belanda, Selandia Baru, Spanyol, Portugal, Afrika Selatan dan Amerika Serikat dan disarankan oleh American Thoracic Society dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC)). Tes ini juga digunakan di USSR dan sekarang lazim di sebagian besar negara bekas Soviet.

Lihat pula